Responding
Paper
TEORI-TEORI
FEMINISME
Khoirul
Umam (111134000164)
Sejarah
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di
Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang
pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam
realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah
ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan,
berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan
perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785
fperkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis,
Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini
berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun
(1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris,
kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum
perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika
datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad
ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum
perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi
praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya
gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua"
hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan"
disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun
1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan
Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi
prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek
perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan
dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan,
serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan
(perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini
dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi
kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik
logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak
feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya
pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada
era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh
Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih
setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization
for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang
kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong
dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati
kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk
pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai
hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an
menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang
pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik,
merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society
(SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di
Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme
radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal
dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran
kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat
kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah
dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya
"Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai
"pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan".
Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di
seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah
dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun
1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk
dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender
atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang
merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern.
Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai
dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains.
Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada
masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk
dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat
maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan
destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn
Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan
terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang
antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains
feminis (feminist science).
Aliran
a.
Feminisme
liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut
mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu
pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang
tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori
pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria,
yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka
juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka
adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada
posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur
segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan
feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan
tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
b.
Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini
menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada.
Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang
tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori
pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria,
yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka
juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan
anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan
buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal,
karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia
saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
c.
Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan
anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau
struktur sosial.
d.
Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem
patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus
dihancurkan.
e.
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran
ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private
property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan
sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem
produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas
dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan
dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara
memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara
bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai
pekerja.
f. Feminisme
sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan
Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme
sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang
melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan
seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis.
Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan
tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus
disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham
dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan
feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan
pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
g.
Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam
bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex,
and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”
h.
Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda
dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis
Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum
ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena
kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang
didukung oleh kebijakan sosial negara.
Tokoh Dalam
Feminisme (Gender)
a.
Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault
tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari
Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi
miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh
kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal
tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
b.
Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa
bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang
dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui
ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu
merupakan efek dari kuasa.
c.
Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa
membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan.
Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas,
tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan
merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain
itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang
merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan
dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan
cara yang sama
0 komentar:
Posting Komentar