Responding Paper
RELASI GENDER DALAM AGAMA YAHUDI
Khoirul Umam (1111034000164)
A. Pendahuluan
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat telah membawa dunia pada era
yang disebut dengan globalisasi. Era ini ditandai dengan munculnya
perubahan-perubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Lahirnya knowledge society yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu
pengetahuan dalam kehidupan manusia dan munculnya “global village” yang semakin
memperkecil makna perbedaan jarak, ruang dan waktu, memberikan dampak yang
signifikan terhadap kehidupan manusia, baik positif maupun negatif. Di sisi
lain, hegemoni ilmu pengetahuan modern memunculkan kritik feminis yang
mengoreksi dan menolak kebenaran universal epistemologi positivistik yang
sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang bersifat partikular, sarat dengan
bias kultur dan gender.
[1]
Pada
bab sebelumnya kita telah bersama-sama membahas mengenai apa yang dimaksud
dengan gender. Menurut Azyumardi Azra, gender merupakan perbedaan peran antara
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya. Perbedaan peran ini sudah
demikian melekat dalam masyarakat, sehingga diasumsikan sebagai peran kodrati.
Hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah selama tidak memunculkan
ketimpangan relasi gender dan peran gender.Atau dalam pengertian lain bahwa
gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang.
Isu
gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender
yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi
maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang
kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan,
keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem
ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan
tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan
seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis. [2]
B. Gender
Perspektif Yahudi
Dalam
tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat,
baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah
seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru
selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa
perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan
mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak
suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan
sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya
laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi
berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk
membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya
berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”[3]
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih
dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan
gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap
sebagai suatu kebenaran.
Gender
dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi
sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah,
menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk
pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas
dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam
masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu
sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap
sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek
dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran,
I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian
Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat
pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4]
Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka
menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam
diusir dari surga.[5]
Seperti
halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan
pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang
tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara
yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak
berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami
diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan
batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan
hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi
seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya.
Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak
membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri
tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.
Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah
tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan
taat.[6]
Sementara
dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang diedit oleh
Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall
see, women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish
societies accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan
lihat, peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat
Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam
masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus
dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan
westernisasi.[7]
Dalam
kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci
penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi
identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.[8]
Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality
are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan
sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari
seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh
masyarakat).[9]
Dalam
upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen,
berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan
marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan
teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi
feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari
dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat perempuan.[10]
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa
laki-laki dan wanita adalah ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi,
silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita
pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adam & Hawa diuraikan
secara rinci di dalam kitab PL, Kejadian 2:4-3:24. Yang intinya: Tuhan melarang
mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk
memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika
Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan
kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia
memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan
berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu
kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia
akan mengatur kamu."
Kepada Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan
apa yang dikatakan isterimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut...saya
turunkan kamu kebumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang adadibumi sampai
kamu mati..."
Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang
dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam & Hawa: "Kepada
wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan kematian; beban berupa darah
menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak,
penutupan kepala dalam dalam berkabung, menjadi budak ang melayani tuannya,
tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian."[11]
Hingga saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali
berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, Yang
tidak menjadikan kami seorang wanita".
C.
Pandangan
Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Berbicara
mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan
perempuandalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya
adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara
satu manusia dengan manusia yang lain, adalah baik dalam hubungan antara
laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender (gender
inequalities). Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan
gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi
ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan
ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe,
marjinalisasi,diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh
karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang
adil dan harmonis.
Menurut
Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman
yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan
bahwa hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah
hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat
tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman
sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota
besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti
layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah
menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum
laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[12]
Tokoh
berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan
bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak
akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka.
Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan
menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi
peran wanita.”
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo
besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan
adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat
sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada
tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang
melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty
Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4
Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis
feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya
terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique".
Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam
masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh
waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak
wanita.
Buku
Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique
berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang
menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu
dunia abad 18.
Teori
yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan
istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada
saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani
yaitu ανήρ (anér, yang berarti
laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk
kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun
sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam
Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang
bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan
tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia
feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang
yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah
Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari
Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita
bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal
Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan
beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan
menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana
tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry
Makow dalam tulisannya -Gloria Steinem: How the CIA
Used Feminism to Destabilize Society- telah menjelaskan dengan
baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi
kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme
gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan
mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow,
adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen
dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller,
Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London
dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan
dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan
lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan
pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan
keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan
diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada
suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan
ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya)
dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa
pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka
jadinya.
Penindasan
terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak
pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan
bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah
saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak.
Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka
sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana
mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow
panjang lebar.[13]
Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity
Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view
the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common
tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to
conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature
that provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially,
sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this
tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we
must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive
circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text,
both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative
representations of women as objectively beautiful, passive, obedient.
(Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen
sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam
budaya kontemporer dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab
terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan model
peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan
sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu
jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun
terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations
moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah
digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai
obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban.[14] Artinya
Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki
karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian
karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.
D. Kesimpulan
Memang masih menjadi topik yang sangat menarik ketika
pembahasan gender ini kembali mencuat di masyarakat terutama masyarakat yang
mengerti akan peran dan fungsi serta kedudukan masing-masing yang dimiliki.
Tentunya tidak dengan tanpa sebab hal demikian terjadi, kita mengetahui bahwa
dalam Bible sebagai sumber ajaran moral memandang perempuan sebagai makhluk
yang memiliki karakteristik berbeda dengan laki-laki, seperti peran dia di
masyarakat, fungsi dia dalam keluarga dan juga kedudukan dia di mata
masyarakat. Hal ini tentunya menjadi satu keunikan tersendiri yang dimiliki
oleh perempuan karena sumber ajaran moral yaitu Bible memandang mulia kehadiran
seorang perempuan di bumi ini.
Sudah menjadi hal yang biasa peredebatan itu terjadi.
Begitupun perdebatan tentang gender. Banyak tokoh yang memiliki asumsi berbeda
satu sama lain, karena sumber pengetahuan mereka pun berbeda, maka ketika
menyikapi hal ini kita tidak bisa hanya merujuk satu sumber tokoh saja, harus
juga dibandingkan atau bahkan dicocokkan dengan sumber yang lain agar
tidak terjadi kesalahpahaman.
Dalam tradisi Yahudi, masalah gender ini adalah
sesuatu hal yang masih diperbincangkan, karena memang gender ini adalah masalah
social antara laki-laki dengan perempuan. Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi
social, tidak ada perebedaan antara keduanya, namun ada hal lain yang
menjadikan adanya perebedaan di antara keduanya baik dari sisi peran, fungsi
dan kedudukan.
Pada intinya, penulis menyimpulkan bahwa relasi gender
dalam Yahudi ini masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, dan juga
masih banyak hal yang penulis belum ketahui, akan tetapi bisa dinyatakan bahwa
gender dalam tradisi Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang
baik, patuh, dan memiliki kemampuan luar biasa.
[1] Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.
161.
[2] Siti Zubaedah, Mengurai
Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi
Gender STAIN Purwokerto, hal. 2
[3] Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas
Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan
Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.
[4] Dikutip dari makalah diskusi
gender dalam agama katolik, UII Pusat Studi Islam.
[5] Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. h. xxviii
[6] Ali, Mukti. Agama-agama di
Dunia. h. 327-328
[7] Arvind Sharma and Katherine K.
Young, Fundamentalism and Woman in World Religions. T & T Clark
International. New York, 2008, hal. 77
[8] Ibid, h. 80
[9] Ibid, h. 81
[10] Siti Zubaedah, Mengurai
Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi
Gender STAIN Purwokerto, hal. 7
[11] Leonard
J. Swidler, Woman in Judaism: the Status of Woman in Formative Judaism,
Metuchen, N.J: Scarecrow Press, 1976, h. 115).
[12]
Erich Fromm, Cinta, Seksualitas,
dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung, 2007, hal. 144
[14] Timothy K.
Beal. The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical
Limit. Routledge, New York. 2002, h. 40
0 komentar:
Posting Komentar