Responding Paper
GERAKAN PEREMPUAN DI NEGARA ISLAM: MESIR, IRAN DAN
TURKI
Khoirul Umam (1111034000164)
Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam
lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam
kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku
politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja.
Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada
kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan
berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang
pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara
melalui proses yang berbeda-beda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda
pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat
atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan
dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang
sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan.
Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari
negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat
yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa
untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri
maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek
demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta
supremasi sipil.
Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan
gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam
akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu
suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya
maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa
mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum
banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa
politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan
maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2]
Islam dan Kesetaraan Gender
Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di
Timur Tengah atau di dunia Arabia selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal
ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanandan ekstrem
kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Oleh
karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji dari sisi historis, framework feminis
muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah
Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang
keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di
India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai
Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis
menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan
penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil
industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi
Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari
Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan
antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus
berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke
dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan
agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah
menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha
yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh
faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing
yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu
pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M)
di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di
Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya,
pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah
gagasan Pan-Islamisme sebagai gagasan persatuan Islam sedunia yang
disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M).
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan
Islam sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang
terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan
posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu,
gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah
Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan
dalam perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang
pengikut al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah
al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik rakyat, meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam
al-Islam). Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat,
dan dalam waktu yang bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan
kemerdekaan untuk menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin
merupakan fenomena baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan
terorganisir, dan berorientasi pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran
Islam di dunia modern. Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar
negeri dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali
Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim
Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-Gazali memimpinnya dan
menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya
dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam
dan bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt)
dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktivis feminis yang tergabung
dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda
Sha’rawi. Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum
status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami (the
personal satus law), persamaan akses pendidikan baik ditingkat lanjutan
maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan
profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan perempuan
tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.
Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam
pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh
reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan
yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan
dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai
aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi
jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat
tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan
hak-hak perempuan.[1]
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul
organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile(Daughter of the Nile)
yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan
menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak
politik secara penuh bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya,
berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi
masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare).
Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye
reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji
Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau
komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial
equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut
terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan
pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[1]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno
tampaknya telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat
perkotaan dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya. Bertolak belakang
dengan teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial
inferior wanita didasarkan pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan,
sudah ada selma dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di
hormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring
dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para sering kali
mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman Neolitik di Asia kecil yang
berasal dari sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan
dan tertinggi wanita ( sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman
ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman yang di temukan dalam
rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak
pemakaman dengan jelas menggambarkan sosok wanita. Catal Huyuk bukan
satu-satunya kebudayaan awal di kawasan itu yang memberikan bukti tentang
posisi luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan temuan
arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan diseluruh Timur Tengah
menghormati dewi Ibu dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum
Masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno
di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi sosok dewi dan
status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di Mesopotamia,
Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa yunani, phoenicia,
dan lain-lainya.[2]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di
Mesir
Pada abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia
adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana
perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya
bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin
jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,
uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang dijumpai di
Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran Muhammad (kira kira pada
abad 570 M) wanita tetap tinggal bersamanya, dan anak-anak yang di
lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia
pra-Islam dan adanya adat istiadat matrilineal, termasuk bergabungnya
anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan
yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber
ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini.
Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan
bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan
bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an
yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang
di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[1]
Kairo adalah Salah satu potret ikonik
revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri
bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat
dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan
tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka
tengah menemukan banyak sekutu.
Sebagian orang berpandangan bahwa
demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan.
Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting
untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja
tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang
ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara
kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di
jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak
kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan
tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan
bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik,
tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak
berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina
Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan
merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir.[2] Sekalipun ia akhirnya
gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang
dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga
semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
Selain berbagai contoh aktivis perempuan
ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan.
Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang
pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki
telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir,
laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para
perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu,
berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di
jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan
pria.[3]
Satu-satunya cara untuk benar-benar
mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan
dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi.
Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis
gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis
yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi
sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain itu, para aktivis hak-hak
perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi
maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil
untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang
dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari
organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam
pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan
– sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan
al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan
dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan
organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua
Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di
al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan
saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa
mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan
secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir
Para aktivis hak perempuan dari semua
latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi
dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim
menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi
ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini.
Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua
perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di
depan.[4]
Jadi perempuan di Mesir tidak di
rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban
kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban
perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu
rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya
tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status
perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai
prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan
mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli
waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya tinggi, namun hukum
juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku.
Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia
di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual
di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan
hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana
tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap
suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir
berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah
pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu,
kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan
kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan
perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar
Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum
batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum
laki-laki dan mencabut hak-haknya.
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Iran
Persoalan perjuangan hak-hak
perempuan muslim (Islam Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di
Timur Tengah dan lebih khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran
dapat di jadikan ilustrasi perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan
ungkapan-ungkapan paradoksal yang berhubungan dengan patriarkhi keagamaan
(religious patriarchy) di era modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan
dunia internasional dan untuk menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi
Arabia.
Pemerintah Arab Saudi melakukan
kerjasama dengan CEDAW (the Convention on
Elimination of All formsof Discrimination Againts Women) sebagai bentuk
formalitas dan hypocrit
karena
masih banyak penerapan yang
berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun resistansi
patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist
jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.
Sebagai contoh, sampai dewasa ini,
Saudi Arabia mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi,
hak-hak sipil dan politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir
mobil.
Adapun perempuan Iran bernasib
lebih baik dibandingkan dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak
sosial dan politiknya berupa aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir
dalam tujuh parlemen (majlis); tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan
kekuasaan patriarkhis, serta menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi
ulama Shi’ah adalah suatu jabatan yang harus dipertahankan). Kondisi politik
patriarkhis parlemen menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis
Islam di Iran.
Nahid Mutee mengkritisi feminis
Barat mempertimbangkan persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki,
tetapi sejak kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem
patriarkhi,kondisi perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya
persamaan tersebut berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual,
bisexual, dan keluarga yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi
feminis Islam, maka pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalam konteks masyarakat
perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana pendapat
Mutee.[5]
Mereka bukan perempuan Iran biasa.
Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik
Islam Iran serta pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan
antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan
Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur
urusan internasional hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan
seorang guru dan pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e
Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.[6]
Ketiga perempuan Iran tersebut
sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam
perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua
Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak
asasi perempuan.
Iran, yang terkesan sangat
fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat
dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara
demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus
perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan.
"Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait
perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan menambahkan, yang paling
patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran karena mampu bertahan dari
tekanan Barat.
Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza
lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap
perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka.
Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat
Islam, terutama di Iran.
Lalu Shayesteh
Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan Islam.
Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama saat
penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua
adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy,
gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak imperialis.[7]
Selama
beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan antara kekuatan
Islam dan sekuleris berlangsung sangat keras. Sampai perlahan-lahan
Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris, yang diwakili oleh
militer. Bangunan sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan,
dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan
dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki Otsmani itu, di
formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke dalam konstitusi, yang secara tegas
menyatakan Turki sebagai negara sekuler. Bukan negara agama. Islam tidak lagi
menjadi sumber hukum bagi kehidupan bernegara.
Perjuangan
pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris, yang berlangsung selama
beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika Erdogan dengan Partai AKP,
membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan seperti membangun kembali
puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah, dan mulai menampakkan wujudnya.
Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini berubah total.
Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak temaram. Seperti
yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru saja
meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di Turki
yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur, dibandingkan
ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris. Ekonomi Turki terbesar keempat di
Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen,
dan angka inflasi kurang dari dua digit. Income perkapita rakyatnya, sudah
diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Timur
Tengah, terus mengalami surplus.
Sekolah,
perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi, dan perumahan,
semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia itu merasa senang
berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak ada yang
kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun sekarang
masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi, Erdogan
perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai Keadilan dan
Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan diberikan
seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan maju
ekonomi, dan kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di zona Eropa,
kini menjadi salah satu negara yang mengenakan pajak tertinggi di dunia
terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan merokok
di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang kantongnya
tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan rokok. Akan
tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah kehilangan
kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi. Sekulerisme masih
memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan
kegagalannya di Turki, serta mulai redup, bersamaan dengan tumbuhnya
kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan maju menggantikan sistem yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan bahwa wacana publik atas isu
pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan internal demokratis atas
kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai masalah ini, Turki merupakan
negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab
antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan
jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat
jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi”
masyarakat Turki.
Mustafa
Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey, melihat jilbab sebagai
halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi Republik Turki. Visi Ataturk
belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk Turki, meskipun jilbab telah
dilarang di sekolah-sekolah, universitas dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari
60% dari perempuan Turki menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya
itu, para sekularis di Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam
yang berakar dan dapat meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan
AKP misalnya yang didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun
pada perempuan yang mengenakan jilbab di universitas-universitas. Dan hal itu
merupakan kekecewaan dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan
dan keuntungan bagi kelas menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis
politik AKP.
Konflik
internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik terhadap
pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada diperingkat
kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti negara-negara Eropa
lainnya, di mana umat Islam tidak hanya minoritas tetapi sering
terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan
alasan keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah
terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah
bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai hal sosial
dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan masa depan
yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain yang menyedihkan yakni Turki
memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah
secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar
di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan
Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik
sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan penutupan Masjid
Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan merupakan perlakuan buruk
Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah sebuah penghinaan dan lambang
perlakuan buruk Barat terhadap Islam,” kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad
(3/6).
Sementara itu, Organisasi Ortodoks
Dunia, The Ecumenical Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi
museum. “Kami ingin Haghia Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan
prinsip-prinsip Republik Turki,” ujar juru bicara Patriarchate, Pastor
Dositheos Anagnostopulos. Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah
masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdo’a di sana, dan hal tersebut akan
mengundang kekacauan.[8]
[1]
Gerakan
perempuan dalam revolusi Mesir tahun 1919,
Aisah Amini, FIB UI: 2005
[3]
Gerakan
perempuan dalam revolusi Mesir tahun 1919,
Aisah Amini, FIB UI: 2005
[4]
Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, hal. 39-40
[5]
Leila Ahmed , Wanita dan Gender dalam Islam, hal. 45-46
[6]
Kirk Patrick, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas
Brawijaya, PT. Danur Wijaya Press, Surabaya, 1994, hal. 76
[7]
E-book, Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto)
“Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal.
1-2
[8]
Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi
(ed.) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995, hal.14
0 komentar:
Posting Komentar