Responding Paper
RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
Khoirul Umam (1111034000164)
Pendahuluan
Transformasi
sosial adalah Proses pembenahan secara terus menerus, dinamis
sesuai dengan sifat masyarakat yang selalu bergerak maju dalam skala kecil maupunbesar. Pembenahan
yang dilakukan tidak boleh lepas dari Kitab Suci karena pada dasarnya sejarah
manusia merupakan proses dialektis antara ide (doktrin-doktrin agama) dengan
realitas manusia yang berupaya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu untuk
mendekati kebenaran mutlak. Oleh karena itu perubahan dan pembenahan tidak
boleh berhenti pada satu titik, harus terus mengalir, dinamis sesuai dengan
sifat masyarakat yang selalu bergerak maju dengan segala perubahan-perubahan
tatanan nilai yang menyertainya.
Setelah kita memahami bagaimana posisi
perempuan dalam kristen tentunya sudah menjadi kewajiban kita menelusuri paran
perempuan tersebut dari masa ke masa. Didalam tulisan ini marilah kita simak
beberapa point tentang perempuan dalam agama kristen dan trasformasi sosial.
Perkembangan
Wanita Kristen
1. Periode
awal: Wanita sebagai harta milik, objek, polusi berbahaya,
dan tidak mampu menjadi gambar Allah.
2. Periode
pertengahan: Wanita mulai tampil sebagai
penulis-penulis spiritual dan mistik yang mencari solusi kehidupan, di dalam
hal-hal spiritual
3. Periode
pencerahan: Bangkitnya para wanita terutama di
Eropa. Beberapa wanita tampil ke permukaan dan melahirkan karya tulis ilmiah tentang
wanita.
Kritik
Feminis Teologi Liberal terhadap Doktrin-Doktrin Kristen
Kaum
feminis pada umumnya menerima kesimpulan bahwa dominasi pria secara sangat
mendalam tertanam dalam kebudayaan kita. Tetapi mereka bergerak lebih jauh
lagi. Bukan hanya bahwa superioritas maskulin menemukan ekspresinya dalam
aturan-aturan hukum, ataupun bahwa laki-laki dan prempuan mempunyai status yang
terpisah dan tidak sederajat dalam jabatan, rekreasi, dan kehidupan publik.
Semua ini dimaksudkan untuk mempertahankan ketidaksederajatan seksual sebagai
suatu masalah hak-hak sipil. Yang ingin dinyatakan sebagai masalah adalah bahwa
“persoalan patriaki bersifat konseptual. .... Patriarki telah secara keliru
mengonseptualisasikan dan memitoskan ‘kedudukan pria’ di dalam alam semesta
dengan demikian –melalui ilusi penguasaan yang dilegitimasikan- membahayakan
seluruh planet.” Yang sangat istimewa untuk penelitian yang telah ada ini
adalah bahwa banyak konsep Kristen telah memainkan peranan utama dalam proses
legitimasi itu. Kitab Suci dan tradisi digunakan untuk menyediakan
konsep-konsep guna membenarkan supremasi pria.
Pokok
masalah yang serupa dapat dibuat dengan memandang hubungan antara pria dan
perempuan. Meskipun banyak bagian dalam Kitab Suci menyatakan atau
mengimplikasikan superioritas laki-laki atas perempuan, bagian-bagian lainnya mengimplikasikan
kesederajatan. Mengenai hal yang terakhir ini, banyak yang berpendapat, secara
teologis lebih fundamental. Bagian-bagian yang sering dikutip yang mencemarkan
perempuan mencakup penciptaan Hawa dari rusuk Adam (Kejadian 2:21-23) dan ukuran-ukuran
yang tidak sama bagi laki-laki dan perempuan dalam Hukum Kekudusan dalam Kitab
Imamat, yang menetapkan bahwa ketika seorang anak laki-laki dilahirkan, sang
ibu najis selama tujuh hari, tetapi setelah kelahiran seorang anak perempuan
lahir, ia najis selama empat belas hari (Imamat 12). Perjanjian Baru pun
mengandung bagian-bagian yang menyatakan supremasi laki-laki. Pria dan
perempuan diperlakukan secara hirarkis dalam Surat Kolose; meskipun suami-suami
diperintahkan untuk mengasihi istri-istri mereka, para istri diperintahkan
untuk menaati suami-suami mereka (Ko. 3:18-19) . Sementara itu, meskipun ada
bagian-bagian yang bersifat patriarkal, sebagian besar orang telah percaya
bahwa kesederajatan pria dan perempuan merupakan suatu prinsip Kristen.
Perempuan
dalam Teks-teks al-Kitab
Perjanjian Lama
|
Perjanjian Baru
|
Miryam (Keluaran 2: 3-4), (mi 6: 4), (kel 15: 20)
Debora (hakim-hakim 4: 4)
Hulda (2 Raj 22: 14), 2 Taw 34: 22)
Ester (Est 2: 7), (Est 7: 6)
|
Lidya,
Priskila, Febe, dll
(Kis
16: 15, Kis 18: 2, Rm 16: 13, 2 Tim 4: 19, Luk 8: 1-3)
|
berikut adalah beberapa teks yang menyangkut masalah perempuan:
1. “Setiap
keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan, mudah-mudahan ia
ditimpa nasib orang yang berdosa” ( Sirakh 25 :19)
2. “Permulaan
dosa dari perempuan dan kerana dialah kita semua mesti mati” (Sirakh
25 : 4)
3. “Darjatnya
(perempuan) di bawah lelaki dan harus tunduk seperti tunduknya manusia kepada
Tuhan” (Efesus 5 : 22 )
4. “Kejahatan
lelaki lebih baik daripada kebajikan perempuan dan perempuanlah yang
mendatangkan malu dan nista” ( Sirakh 42 : 14 )
5. “Anak
perempuan tidak mendapatkan warisan, kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari
pihak lelaki ” ( Bilangan 27 : 8 )
6. “Seorang
isteri tidak mempunyai hak pewarisan dari suaminya”
( Bilangan 27 : 8-11)
7. “Wujud
kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan
ketika melahirkan, dan akan selalu ditindas lelaki kerana mewariskan dosa Hawa”
( Kejadian 3: 16 )
8. “Perempuan
harus tutup mulut di gereja, tidak ada hak untuk bersuara, dan bertanya dalam
satu jemaah. Jika harus bertanya tentang sesuatu yang belum difahami, dia harus
bertanya kepada suaminya di rumah” ( Korintus 14 :
34-35)
Dari
beberapa teks suci tersebut muncullah beberapa pandangan Feminis tentang
kedudukan al-Kitab, diantara tokoh feminis tersebut adalah:
1.
Rosemary Radford Ruether:
Di antara
beberapa pemikirannya adalah:
a. Alkitab
ditafsir dengan budaya patriakhat.
b. Alkitab
harus terus-menerus dievaluasi ulang (kebebasan dan keselamatan wanita) dalam
konteks yang baru.
c. Pengalaman
wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer.
2.
Letty M. Russell:
Di antara
beberapa pemikirannya adalah:
a.
Alkitab adalah firman yang memerdekakan
(liberating word) à (Yesaya 61:12), (Lukas 4:18-19)
b.
(the liberated word : membuang
tafsir budaya patriarkhal)
c.
Iman dalam memahami firman Allah :
Alkitab.
d.
Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam
kehidupannya (tujuan kemanusiaan).
3.
Elizabeth Schüssler Fiorenza:
Diantara
beberapa pemikirannya adalah:
a.
Alkitab tidak boleh diterima
mentah-mentah sebagai firman Allah karena banyak unsur manusianya (baca: pria)
di dalamnya.
Untuk
itulah ketiga feminis tersebut menyarankan adanya penafsiran/interpretasi ulang
terhadap teks-teks yang bias gender sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Lebih lanjut mereka (feminis Kristen) berpendapat bahwa Firman Allah
sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang
bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang
digunakan oleh para penulis Alkitab.Bahkan, Teolog feminis berani
mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki pandangan yang konsisten tentang
wanita. Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah
daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca
Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis.
Untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur budaya
ketika melakukan interpretasi.
Beberapa
contoh diskriminasi perempuan
1. Ukuran-ukuran
yang tidak sama bagi laki-laki dan perempuan dalam Hukum Kekudusan: “Seorang
anak laki-laki dilahirkan, sang ibu najis selama tujuh hari, tetapi setelah
kelahiran seorang anak perempuan lahir, ia najis selama empat belas
hari”. (Imamat 12)
Pandangan Beberapa Tokoh Tentang
Perempuan
1. Philip
J.Adler (Pakar sejarah Barat ) dalam buku “World Civilization” :Sampai
abad ke 17, masyarakat Eropa masih memandang perempuan sebagai jelmaan syaitan
untuk menggoda manusia, dan meyakini sejak awal penciptaannya, perempuan adalah
ciptaan yang tidak sempurna.
2. Paderi
St.John Chrysostom (345-407) :“Wanita adalah syaitan yang tidak dapat
dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menaik, sebuah risiko
rumah tangga”.
3. Francis
Bacon dalam bukunya “Marriage and Single Life”: Menerangkan bahwa
perempuan menyimpan benih keburukan sehingga harus selalu diawasi oleh ahli
keluarga lelaki / suaminya apabila dia sudah berkawin. Oleh sebab itu, hidup
tanpa nikah merupakan kehidupan ideal bagi seorang lelaki, kerana jauh dari
pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak, sehingga mereka dapat memberikan
perhatian yang penuh pada kehidupannya dalam masyarakat.
Gerakan
Reformasi Sosial Keagamaan untuk Kesetaraan Gender abad ke-20
Perlawanan
terhadap kekuasaan gereja dimulai dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789).
Gerakan kebebasan politik terus berlangsung sehingga pada tahun 1792, pada
tahun ini kaum perempuan memperoleh hak untuk dapat bercerai dari suaminya.
Gerakan pembaharuan intelektual “Renaissance” di Barat memberi pengaruh yang kuat
terhadap gerakan feminisme dan kesamaan gender.
Mary
Wollstonecraft (pd tahun 1792) dalam bukunya “A Vindication of the Right of
Women” menentang anggapan bahwa perempuan hanya untuk memberi kepuasan
seksual kepada lelaki, dan menjelaskan bahwa perempuan mempunyai peluang yang
sama dengan lelaki dalam hal ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.
Gerakan
yang memperjuangkan kesederajatan hak-hak bagi perempuan telah sejak awal pada
abad ke-18 bertumbuh secara kuat. Pada tahun 1790 Concordet, seorang humanis
Prancis yang berpengaruh memberikan pengungkapan yang bagus sekali untuk ajaran
fundamental dari semua gerakan seperti itu, prinsip penghargaan yang universal
dan sederajat. Prinsip itu dapat secara singkat dijelaskan sebagai tuntunan
untuk memperlakukan seperti laki-laki adalah makhluk dengan ketajaman perasaan,
akal budi, dan moral. Concordet menambahkan:
Dengan
memiliki kualitas-kualitas yang sama, sudah barang tentu perempuan memiliki
hak-hak yang sama. Tak satu individu pun di antara umat manusia yang mempunyai
hak-hak yang ia miliki sejak awal; semua orang memiliki hak yang sama; dan
barangsiapa yang memilih untuk melawan hak-hak orang yang lain, apa pun agama,
warna kulit, atau jenis kelaminmya, mulai sekarang telah menyangkali haknya
sendiri.
Penyebutan
Concordet itu menyatakan bahwa gerakan kesamaan hak tersebut asal usul dan
tujuannya bersifat sekuler. Namun, hal ini sama sekali bukan masalahnya.
Keprihatinan mengenai kesederajatan berakar mendalam dalam Alkitab dan
kesadaran Kristen, sedemikian rupa sehingga gerakan untuk menghapuskan
perbudakan memperoleh daya dorong dari orang-orang Kristen Anglo-Saxon yang
komitmennya begitu mendalam, seperti Woolman, Wilberforce, dan Shaftesbury. Di
antara orang-orang Amerika-Afrika gerakan-gerakan hak sipil secara serupa
ditumbuhkan oleh warisan Alkitabiah. Meskipun ada fakta bahwa dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru ada toleransi untuk perbudakan sebagai suatu tatanan
sosial dan ketiadaan pengutukan yang eksplisit terhadap rasisme, hampir seluruh
orang Kristen masa kin, dengan melandaskan pandangan mereka di atas
prinsip-prinsip alkitabiah, menyimpulkan bahwa praktik ini bertentangan dengan
kehendak Allah.
Daftar
Rujukan
Abul
A’la Maududi. AlHijab. Bandung: Gema Risalah Press, 1995
Linwood
Urba., Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Retnowati. Perempuan-Perempuan
dalam al-Kitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. III, 2008
Sri
Haningsih, Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme Dan Implikasinya
TerhadapTransformasi Sosial Islam. (Majalah al Warid edisi ke 13. 2005)
0 komentar:
Posting Komentar