Selamat Datang

Selamat kepada Khoirul Umam (UIN Jakarta'11) terpilih sebagai ketua Lingkar Bidikmisi PTAIN se-Nusantara (LINGDIKSI).

Selamat dan Sukses Wisuda ke 95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selamat menyelesaikan tugas akhir skripsi untuk mahasiswa semester VII Fakultas Ushuluddin

.

.

Halaman

Rabu, 07 Januari 2015

RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN

Responding Paper
RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
Khoirul Umam (1111034000164)

Pendahuluan
Transformasi sosial adalah Proses pembenahan secara terus menerus, dinamis sesuai dengan sifat masyarakat yang selalu bergerak maju dalam skala kecil maupunbesar. Pembenahan yang dilakukan tidak boleh lepas dari Kitab Suci karena pada dasarnya sejarah manusia merupakan proses dialektis antara ide (doktrin-doktrin agama) dengan realitas manusia yang berupaya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu untuk mendekati kebenaran mutlak. Oleh karena itu perubahan dan pembenahan tidak boleh berhenti pada satu titik, harus terus mengalir, dinamis sesuai dengan sifat masyarakat yang selalu bergerak maju dengan segala perubahan-perubahan tatanan nilai yang menyertainya.
Setelah kita memahami bagaimana posisi perempuan dalam kristen tentunya sudah menjadi kewajiban kita menelusuri paran perempuan tersebut dari masa ke masa. Didalam tulisan ini marilah kita simak beberapa point tentang perempuan dalam agama kristen dan trasformasi sosial.

Perkembangan Wanita Kristen
1.      Periode awal: Wanita sebagai harta milik, objek, polusi berbahaya, dan tidak mampu menjadi gambar Allah.
2.      Periode pertengahan: Wanita mulai tampil sebagai penulis-penulis spiritual dan mistik yang mencari solusi kehidupan, di dalam hal-hal spiritual
3.      Periode pencerahan: Bangkitnya para wanita terutama di Eropa. Beberapa wanita tampil ke permukaan dan melahirkan karya tulis ilmiah tentang wanita.

Kritik Feminis Teologi Liberal terhadap Doktrin-Doktrin Kristen
Kaum feminis pada umumnya menerima kesimpulan bahwa dominasi pria secara sangat mendalam tertanam dalam kebudayaan kita. Tetapi mereka bergerak lebih jauh lagi. Bukan hanya bahwa superioritas maskulin menemukan ekspresinya dalam aturan-aturan hukum, ataupun bahwa laki-laki dan prempuan mempunyai status yang terpisah dan tidak sederajat dalam jabatan, rekreasi, dan kehidupan publik. Semua ini dimaksudkan untuk mempertahankan ketidaksederajatan seksual sebagai suatu masalah hak-hak sipil. Yang ingin dinyatakan sebagai masalah adalah bahwa “persoalan patriaki bersifat konseptual. .... Patriarki telah secara keliru mengonseptualisasikan dan memitoskan ‘kedudukan pria’ di dalam alam semesta dengan demikian –melalui ilusi penguasaan yang dilegitimasikan- membahayakan seluruh planet.” Yang sangat istimewa untuk penelitian yang telah ada ini adalah bahwa banyak konsep Kristen telah memainkan peranan utama dalam proses legitimasi itu. Kitab Suci dan tradisi digunakan untuk menyediakan konsep-konsep guna membenarkan supremasi pria.
Pokok masalah yang serupa dapat dibuat dengan memandang hubungan antara pria dan perempuan. Meskipun banyak bagian dalam Kitab Suci menyatakan atau mengimplikasikan superioritas laki-laki atas perempuan, bagian-bagian lainnya mengimplikasikan kesederajatan. Mengenai hal yang terakhir ini, banyak yang berpendapat, secara teologis lebih fundamental. Bagian-bagian yang sering dikutip yang mencemarkan perempuan mencakup penciptaan Hawa dari rusuk Adam (Kejadian 2:21-23) dan ukuran-ukuran yang tidak sama bagi laki-laki dan perempuan dalam Hukum Kekudusan dalam Kitab Imamat, yang menetapkan bahwa ketika seorang anak laki-laki dilahirkan, sang ibu najis selama tujuh hari, tetapi setelah kelahiran seorang anak perempuan lahir, ia najis selama empat belas hari (Imamat 12). Perjanjian Baru pun mengandung bagian-bagian yang menyatakan supremasi laki-laki. Pria dan perempuan diperlakukan secara hirarkis dalam Surat Kolose; meskipun suami-suami diperintahkan untuk mengasihi istri-istri mereka, para istri diperintahkan untuk menaati suami-suami mereka (Ko. 3:18-19) . Sementara itu, meskipun ada bagian-bagian yang bersifat patriarkal, sebagian besar orang telah percaya bahwa kesederajatan pria dan perempuan merupakan suatu prinsip Kristen.

Perempuan dalam Teks-teks al-Kitab
Perjanjian Lama
Perjanjian Baru
Miryam (Keluaran 2: 3-4), (mi 6: 4), (kel 15: 20)
Debora (hakim-hakim 4: 4)
Hulda (2 Raj 22: 14), 2 Taw 34: 22)
Ester (Est 2: 7), (Est 7: 6)
Lidya, Priskila, Febe, dll
(Kis 16: 15, Kis 18: 2, Rm 16: 13, 2 Tim 4: 19, Luk 8: 1-3)

berikut adalah beberapa teks yang menyangkut masalah perempuan:
1.      “Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang yang berdosa” ( Sirakh 25 :19)
2.      “Permulaan dosa dari perempuan dan kerana dialah kita semua mesti mati” (Sirakh 25 : 4)
3.      “Darjatnya (perempuan) di bawah lelaki dan harus tunduk seperti tunduknya manusia kepada Tuhan” (Efesus 5 : 22 )
4.      “Kejahatan lelaki lebih baik daripada kebajikan perempuan dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista” ( Sirakh 42 : 14 )
5.      “Anak perempuan tidak mendapatkan warisan, kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari pihak lelaki ” ( Bilangan 27 : 8 )
6.      “Seorang isteri tidak mempunyai hak pewarisan dari suaminya” ( Bilangan 27 : 8-11)
7.      “Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan ketika melahirkan, dan akan selalu ditindas lelaki kerana mewariskan dosa Hawa” ( Kejadian 3: 16 )
8.      “Perempuan harus tutup mulut di gereja, tidak ada hak untuk bersuara, dan bertanya dalam satu jemaah. Jika harus bertanya tentang sesuatu yang belum difahami, dia harus bertanya kepada suaminya di rumah” ( Korintus 14 : 34-35)
Dari beberapa teks suci tersebut muncullah beberapa pandangan Feminis tentang kedudukan al-Kitab, diantara tokoh feminis tersebut adalah:
1.      Rosemary Radford Ruether:
Di antara beberapa pemikirannya adalah:
a.       Alkitab ditafsir dengan budaya patriakhat.
b.      Alkitab harus terus-menerus dievaluasi ulang (kebebasan dan keselamatan wanita) dalam konteks yang baru.
c.       Pengalaman wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer.
2.      Letty M. Russell:
Di antara beberapa pemikirannya adalah:
a.       Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating word) à (Yesaya 61:12), (Lukas 4:18-19)
b.      (the liberated word : membuang tafsir budaya patriarkhal)
c.       Iman dalam memahami firman Allah : Alkitab.
d.      Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam kehidupannya (tujuan kemanusiaan).
3.      Elizabeth Schüssler Fiorenza:
Diantara beberapa pemikirannya adalah:
a.       Alkitab tidak boleh diterima mentah-mentah sebagai firman Allah karena banyak unsur manusianya (baca: pria) di dalamnya.
Untuk itulah ketiga feminis tersebut menyarankan adanya penafsiran/interpretasi ulang terhadap teks-teks yang bias gender sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Lebih lanjut mereka (feminis Kristen) berpendapat bahwa Firman Allah sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab.Bahkan, Teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki pandangan yang konsisten tentang wanita. Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis. Untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur budaya ketika melakukan interpretasi.

Beberapa contoh diskriminasi perempuan
1.      Ukuran-ukuran yang tidak sama bagi laki-laki dan perempuan dalam Hukum Kekudusan: “Seorang anak laki-laki dilahirkan, sang ibu najis selama tujuh hari, tetapi setelah kelahiran seorang anak perempuan lahir, ia najis selama empat belas hari”. (Imamat 12)
Pandangan Beberapa Tokoh Tentang Perempuan
1.      Philip J.Adler (Pakar sejarah Barat ) dalam buku “World Civilization” :Sampai abad ke 17, masyarakat Eropa masih memandang perempuan sebagai jelmaan syaitan untuk menggoda manusia, dan meyakini sejak awal penciptaannya, perempuan adalah ciptaan yang tidak sempurna.
2.      Paderi St.John Chrysostom (345-407) :“Wanita adalah syaitan yang tidak dapat dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menaik, sebuah risiko rumah tangga.
3.      Francis Bacon dalam bukunya “Marriage and Single Life”: Menerangkan bahwa perempuan menyimpan benih keburukan sehingga harus selalu diawasi oleh ahli keluarga lelaki / suaminya apabila dia sudah berkawin. Oleh sebab itu, hidup tanpa nikah merupakan kehidupan ideal bagi seorang lelaki, kerana jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak, sehingga mereka dapat memberikan perhatian yang penuh pada kehidupannya dalam masyarakat.

Gerakan Reformasi Sosial Keagamaan untuk Kesetaraan Gender abad ke-20
Perlawanan terhadap kekuasaan gereja dimulai dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789). Gerakan kebebasan politik terus berlangsung sehingga pada tahun 1792, pada tahun ini kaum perempuan memperoleh hak untuk dapat bercerai dari suaminya. Gerakan pembaharuan intelektual “Renaissance” di Barat memberi pengaruh yang kuat terhadap gerakan feminisme dan kesamaan gender.
Mary Wollstonecraft (pd tahun 1792) dalam bukunya “A Vindication of the Right of Women” menentang anggapan bahwa perempuan hanya untuk memberi kepuasan seksual kepada lelaki, dan menjelaskan bahwa perempuan mempunyai peluang yang sama dengan lelaki dalam hal ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.
Gerakan yang memperjuangkan kesederajatan hak-hak bagi perempuan telah sejak awal pada abad ke-18 bertumbuh secara kuat. Pada tahun 1790 Concordet, seorang humanis Prancis yang berpengaruh memberikan pengungkapan yang bagus sekali untuk ajaran fundamental dari semua gerakan seperti itu, prinsip penghargaan yang universal dan sederajat. Prinsip itu dapat secara singkat dijelaskan sebagai tuntunan untuk memperlakukan seperti laki-laki adalah makhluk dengan ketajaman perasaan, akal budi, dan moral. Concordet menambahkan:
Dengan memiliki kualitas-kualitas yang sama, sudah barang tentu perempuan memiliki hak-hak yang sama. Tak satu individu pun di antara umat manusia yang mempunyai hak-hak yang ia miliki sejak awal; semua orang memiliki hak yang sama; dan barangsiapa yang memilih untuk melawan hak-hak orang yang lain, apa pun agama, warna kulit, atau jenis kelaminmya, mulai sekarang telah menyangkali haknya sendiri.
Penyebutan Concordet itu menyatakan bahwa gerakan kesamaan hak tersebut asal usul dan tujuannya bersifat sekuler. Namun, hal ini sama sekali bukan masalahnya. Keprihatinan mengenai kesederajatan berakar mendalam dalam Alkitab dan kesadaran Kristen, sedemikian rupa sehingga gerakan untuk menghapuskan perbudakan memperoleh daya dorong dari orang-orang Kristen Anglo-Saxon yang komitmennya begitu mendalam, seperti Woolman, Wilberforce, dan Shaftesbury. Di antara orang-orang Amerika-Afrika gerakan-gerakan hak sipil secara serupa ditumbuhkan oleh warisan Alkitabiah. Meskipun ada fakta bahwa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada toleransi untuk perbudakan sebagai suatu tatanan sosial dan ketiadaan pengutukan yang eksplisit terhadap rasisme, hampir seluruh orang Kristen masa kin, dengan melandaskan pandangan mereka di atas prinsip-prinsip alkitabiah, menyimpulkan bahwa praktik ini bertentangan dengan kehendak Allah.

Daftar Rujukan
Abul A’la Maududi. AlHijab. Bandung: Gema Risalah Press, 1995
Linwood Urba., Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Retnowati. Perempuan-Perempuan dalam al-Kitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. III, 2008
Sri Haningsih, Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme Dan Implikasinya TerhadapTransformasi Sosial Islam. (Majalah al Warid edisi ke 13. 2005)


0 komentar:

Posting Komentar