Responding
Paper :
RELASI
GENDER PERSPEKTIF KATOLIK
Khoirul Umam (1111034000164)
Teks Ketidakadilan dan Keadilan Gender
Berikut
adalah beberapa perikop dalam alkitab baik dalam perjanjian lama maupun
perjanjian baru yang tidak mendukung kesetaraan gender:
1. Dan
dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.(Kejadian
2:22)
2. Firman-Nya
kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandungakan Kubuat sangat
banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkananakmu; namun engkau akan berahi
kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." (Kejadian 3:16)
3. Puji-pujian
untuk isteri yang cakap. (Amsal 31:10-31)
4. Aku
tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidakmengizinkannya memerintah laki-laki;
hendaklah ia berdiam diri. KarenaAdam yang pertama dijadikan, kemudian barulah
Hawa. Lagipula bukanAdam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda
dan jatuhke dalam dosa. (1 Timotius 2:12-14)
Berikut
adalah beberapa perikop dalam alkitab baik dalam perjanjian lamamaupun
perjanjian baru yang mendukung kesetaraan gender:
1. Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurutgambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan- Nya mereka.
(Kejadian 1:27)
2. Lalu
kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembirakarena Allah,
Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya,
mulai dari sekarang segala keturunan akanmenyebut aku berbahagia. (Lukas
1:46-48).
3. Ketika
Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antaraorang banyak dan
berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telahmengandung Engkau dan
susu yang telah menyusui Engkau." Tetapi Ia berkata: "Yang
berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allahdan yang memeliharanya."
(Lukas 11:27-28)
4. Maka
kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau,seorang Yahudi,
minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orangYahudi tidak bergaul
dengan orang Samaria.). Jawab Yesus kepadanya:"Jikalau engkau tahu tentang
karunia Allah dan siapakah Dia yang berkatakepadamu: Berilah Aku minum!
niscaya engkau telah meminta kepada- Nya dan Ia telah memberikan kepadamu
air hidup." (Yohanes 4:9-10).
Status dan Peran Perempuan dalam
Perspektif Katolik
Pandangan gereja terhadap kesetaraan gender terwakili melalui
dokumen Familiaris Consortio (FC) dan katekismus gereja katolik,
diantaranya:
1.
Perempuan dinyatakan sederajat dengan laki-laki, seperti
diwahyukandalam sejarah keselamatan sejak awal. (FC 22)
2.
Perempuan diakui mempunyai martabat manusia yang sama dengan
laki-laki, maka mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat.(FC 23)
3.
Peranan isteri dalam keluarga harus diakui dan dihargai. (FC 24)
4.
Cinta suami-isteri bersifat subur, baik dalam arti biologis
maupunspiritualitas. Artinya, membuahkan kekayaan moral, religiusitas, dan
budi pekerti yang baik. (FC 28)
5.
Allah memberkati laki-laki dan perempuan dengan martabat yang
samasebagai manusia. (Katekismus)
Laki-laki
dan perempuan meskipun berbeda dalam brbagai hal, tetap merupakan
pribadi-pribadi yang mempunyai nilai yang sama. Karena keduanya diciptakan
berdasarkan “gambar” Tuhan. ajaran semacam ini, tampak pada naskh pasca-paulus
dalam Perjanjian Baru, yang mensistematisir agama Kristen Patriarkhal. Dengan
demikian, ajaran ini berlawanan dengan sistem ajaran Kristen kerakyatan awal.
Pada
gerakan kristen akhir-akhir ini, terdapat banyak aktivis dan pemikir yang
memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Grimke misalnya,
menyatakan bahwa kelemahan wanita dalam hal intelektualitas dan kepemimpinan
bukanlah hal yang alami, namun karena adanya penyimpangan-penyimpangan sosial.
Sekali perempuan dibebeaskan dari ketidakadilan sosial, maka ia akan
mendapatkan hak dan kesempatan yang sama.
Permasalahan
gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya
budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih
dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan
gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap
sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran kristen tidak dapat
terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam
Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang
pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam
diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena
Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua.
Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai
dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan
ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat
perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai
perempuan.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja
menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi,
teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.
1. Aspek
Tradisi
Salah
satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih
dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa
dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan
suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru
memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas
Perjanjian Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama
Kitab Perjanjian Lama.
2. Aspek
Teologi dan Filsafat
Dalam
Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai
Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini
mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga
sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga
Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.
3. Aspek
Kitab Suci
Untuk
memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam Kejadian 2
pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan
sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan
dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat
(26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra
dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam
Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan
sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini
sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga. Pencitraan perempuan
yang cenderung terasa tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan
kembali dalam Kitab Perjanjian Baru.
Dalam
Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan
karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan
perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh
penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4. Aspek
Ajaran Gereja
Dalam
pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama
dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat.
Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja
mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam
keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran
terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu
kekerasan dalam keluarga.
Dalam
Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga
yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya
kekerasan dalam rumahtangga, termasuk perceraian.
Dari
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender.
Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat
hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.
Peran Teologi Feminis Kristen Dalam
Gerakan Sosial Kontemporer
Dr.
Paul Budi, SVD, seorang imam katolik, memulai langkah dalam tulisannya bertajuk
“Perempuan Menggugat Ketidakadilan Gender dalam Konteks Tafsir Tradisi Katolik”
dalam buku “Menerobos Batas Merobohkan Prasangka” dengan analisis singkat
atas opus magnum, Dr. Kirchberger berjudul “Allah Menggugat”.
Bahwasanya Allah menggugat dunia melalui para perempuan yang menggugat kondisi
dominasi kaum laki-laki di luar dan di dalam Gereja.
Dalam Gereja, tidak dapat dimungkiri dan tidak perlu disembunyikan
bahwa ketidakadilan gender merupakan bagian dari tradisi Katolik. Berikut ini
ada beberapa contoh penafsiran katolik yang menempatkan perempuan pada posisi
tersubordinasi;
1.
Ketidakadilan terhadap
perempuan dalam tafsir Kitab Suci. Ada tafsiran sejumlah perikop Kitab
Suci yang memperkuat perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan. Kisah
penciptaan dan kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa yang ditempatkan pada
bagian awal Kitab Kejadian (Kejadian: 2-3) telah digunakan secara luas sebagai
alasan untuk membenarkan posisi subordinat dari kaum perempuan. Atau dalam 1Tes
2 di mana Paulus mengulangi alasan kenapa perempuan harus menderita, 1 kor 14
ketika Paulus menesehati para perempuan untuk berdiam diri dalam jemaat atau
nasihat agar para istri menempatkan diri di bawah posisi suami sebagai
kepala keluarga (Ef 5).
Dalam tradisi katolik,
Kitab Suci umumnya dibacakan dalam ibadat. Bacaan yang harus diambil dalam
kebaktian resmi sudah ditetapkan secara universal bagi Gereja di seluruh dunia.
Yang menetapkan bacaan-bacaan itu adalah kaum laki-laki. Selanjutnya, yang
membaca dan menjelaskan Kitab Suci pada kesempatan ibadat kebanyakan kaum
laki-laki. Sedangkan, sebagian besar dari umat yang mendengar bacaan kitab suci
dan penjelasan atasnya adalah kaum perempuan. Atau contoh lain, bacaan tahun A
selama pekan suci hanya menyebut 9 nama perempuan di samping 29 tokoh laki-laki
yang disebutkan scara eksplisit. Pada hari minggu Palem, dalam kisah sengsara versi
injil Mateus hanya disebutkan nama satu orang perempuan, sedangkan tokoh
laki-laki berjumlah 6 orang. Demikian pun pada hari minggu paskah dalam
misa pagi hanya disebutkan seorang perempuan di samping 3 orang laki-laki.
2.
Ketidakadilan gender dalam ritual. Hal ini terpatri dalam Kanon
1024 “Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima tahbisan secara sah”. Itu
berarti hanya laki-laki yang dapat memimpin perayaan ekaristi. Pandangan
berkaitan dengan tahbisan yang hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki dipertegas
lagi dalam Surat Apostolis Yohanes Paulus II bertajuk Mulieris
Dignitatem pada tahun 1988 dan Surat Apostolis Yohanes paulus berjudulOrdinatio
Sacerdotalis pada tahun 1994.
Pembatasan peran
perempuan dalam ruang ritual tampaknya demikian mengakar dalam tradisi katolik,
sehinggga untuk waktu yang sangat lama kita tidak mengenal misdinar perempuan.
Walaupun sudah diijinkan secara resmi, namun sampai sekarang kita tetap tidak
menemukan seorang misdinar perempuan dalam perayaan ekaristi di katedral Santo
Petrus di Roma atau dalam kunjungan-kunjungan Paus.
3.
Ketidakadilan gender dalam struktur Gereja. Walau pada level
KWI telah dibentuk Jaringan Mitra Perempuan sebagai wadah yang
mengkoordinasikan berbagai kiprah dan inisiatif Gereja Katolik Indonesia mengenai
persoalan perempuan. Namun, hal tersebut belum terlihat begitu menyata dalam
situasi Gereja lokal. Pada tingkat keuskupan kondisinya dapat dilihat pada
komposisi staf Pusat Pastoral Keuskupan. Misalnya, dari 151 anggota puspas di
keuskupan Maumere, hanya 36 orang permpuan dan selebihnya, 115 orang laki-laki.
Menjawabi ketidakadilan yang terjadi, Pater Paul Budi menganjurkan
perlu diupayakan tafsir yang mendorong kesetaraan gender. Tradisi
tafsir ini disebutnya sebagai tradisi transformatif. Transformasi itu
dimulai dengan memberikan tafsiran alternatif yang lebih positif mengenai
persoalan gender. Berikut ini ada beberapa suguhan mengenai tafsir alternatif
yang lebih positif itu;
a. Menafsir kisah awal
manusia.
Dalam kisah penciptaan, kita tahu bahwa manusia diciptakan menurut
citra Allah. Bagi Paul Budi, mengatakan manusia adalah gambaran Allah
mengandung dua konsekwensi. Pertama,manusia tidak dapat dipahami
terlepas dari Allah. Hanya dalam relasi dengan Allah dia mendapat kepenuhannya.
Allah saja yang berkuasa mutlak atas manusia. Tidak ada manusia dan kelompok
manusia, termasuk kelompok gender tertentu, yang memiliki hak mutlak atas
manusia. Manusia tidak dapat diperlakukan sebagai barang oleh siapun. Kedua, ungkapan
di atas menunjukkan kesetaraan sekaligus kesatuan manusia laki-laki dan
perempuan. Keduanya adalah setara, sebab yang satu tidak lebih mulia atau
lebih jahat daripada yang lain.
b. Dokumen-dokumen Gereja
Kontemporer
1.
Konstitusi Pastoral Tentang
“Gereja dalam Dunia Dewasa Ini” (Gaudium et Spes/GS)
Berkenanaan dengan perempuan dikatakan: “walaupun kaum perempuan
sudah aktif dalam berbagai bidang kehidupan, namun sejalan dengan itu mereka
pun harus semakin berani mengambil peran sesuai dengan kekhasan mereka”
(60). Rumusan ini dapat digunakan untuk mendorong kaum perempuan dan
siapa saja agar mengupayakan secara semakin berani kesetaraan gender, karena
pengalaman sejarah yang sudah menstigma kaum perempuan sebagai kaum tertindas.
Salah satu kekhasan kaum perempuan dalam sejarah adalah praktik penindasan
terhadap mereka. Pengalaman ini seharusnya menjadi alasan bagi kaum perempuan
untuk berperan sebagai pejuang hak-hak asasi manusia.
2.
Keputusan FABC (The Federation of Asian Bishop’s Conferences)
Pada tahun 1993,
konferensi uskup seasia yang tergabung dalam FABC mengangkat masalah perempuan
sebagai satu agenda penting pada Gereja Katolik di Asia. Pertemuan itu
mengeluarkan beberapa rekomendasi penting antara lain:
a.
Sebagai langkah awal memperjuangkan kesetaraan gender, setidaknya
30% perempuan harus duduk dalam semua organisasi dan Dewan Gereja.
b.
Pada tingkat keuskupan dibentuk komisi untuk menangani masalah
ketidakadilan kepada perempuan dan anak, serta mengambil langkah-langkah
secepatnya.
c.
Memberikan kompensasi yang adil bagi perempuan yang bekerja dalam
lingkungan Gereja, termasuk para biarawan/wati.
d.
Teologi perempuan diperkenalkan kepada calon imam selama masa
pendidikannya.
e.
Mendukung dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar
teologi.
c. Surat Gembala KWI Untuk
Pemilihan Umum 2004
Atas kesadaran bahwa ada ketidakadilan dalam struktur pemerintahan
di Indonesia. Maka para uskup secara eksplisit mendorong orang-orang katolik
untuk memberikan pilihan kepada calon legislatif perempuan yang
bermutu. Sikap ini merupakan tindakan nyata untuk mengakui peran perempuan
dalam mengambil keputusan politik.
d. Strategi Agama
Transformatif
Agama mempunyai potensi kritis mentransformasikan masyarakat dari
suatu kebudayaan menuju satu kebudayaan baru yang lebih memberikan ruang untuk
perwujudan diri kaum perempuan. Ada tiga hal penting yang dapat diupayakan dan
diperhatiakan. Pertama, agama perlu memberikan inspirasi dan
kekuatan bagi perempuan dan laki-laki untuk berjuang menuju kesetaraan gender. Kedua membuka
ruang bagi keterlibatan kaum perempuan dalam struktur agama. Ketiga, usaha
agama untuk mengubah pola relasi kekuasaan di dalam sebuah masyarakat dapat
ditempuh melalui jalur pendidikan.
Diskriminasi gender terhadap perempuan aktual untuk diperkatakan.
Artinya, realitas diskriminasi ini sering kita jumpai dalam keseharian hidup
kita. Pater Paul coba mengangkat realitas diskriminasi kaum perempuan dalam
konteks tafsir tradisi katolik dengan begitu menarik dan transformatif.
Kesimpulan
Alkitab perjanjian lama menghadirkan
paradigma bahwa perempuan adalah makhluk kedua dan sumber dosa. Perempuan
adalah makhluk yang diciptakan dari rusuk laki-laki sehingga ia semestinya
tunduk pada laki-laki. Hawa adalah yang menyebabkan Adam memakan buah pengetahuan
sehingga ia disebut-sebut sebagai sumber dosa. Akhirnya terjadi ketidaksetaraan
gender dalam kehidupan umat Tuhan yang bertahan sebagai tradisi selama 1500
tahun sampai saat Yesus datang ke dunia.Dalam kitab perjanjian baru. Bunda
Maria muncul sebagai sosok ibu yang sabar dan penuh kasih. Kehadiran Yesus
seolah merombak pemahaman umat bahwa Yesus tidak menjauhi perempuan sundal.
Yesus bercakap
dengan wanita Samaria, yang menurut tradisi Yahudi adalah tabu.
Martabat perempuan diangkat dan dimuliakan oleh ajaran Yesus. Perjanjian baru
atau ajaran Kristus kemudian menjadi titik tolak gerejaKatolik dalam menentukan
pandangannnya terhadap kesetaraan gender. Sifat gereja yang apostolik berusaha
meneruskan semangat kerasulan sebagaimana terjadi sejak 2000 tahun lalu.
Tertuang dalam berbagai dokumen, gereja menerjemahkan ajaran Yesus untuk
senantiasa memuliakan dan menjunjung kesetaraan harkat, martabat, hak,
kewajiban, peran, serta fungsi pria dan wanita dalam kehidupan spiritual maupun
sekular.
Daftar Rujukan
Arvind
Sharma. Perempuan dalam Agama-Agama
Dunia. Jakarta: Ditpertais
Depag RI-CIDA-McGill Project, 2002
Bertolomeus
Bolong. Keadilan Gender Dalam Keluarga
Dalam Gambaran Gereja Katolik, diakses 8 November 2014, dari http://cfis.uii.ac.id/content/view/44/87/
Ellys
Sudarwati, Artikel YLPHS: Kesetaraan
Gender dalam al-Kitab, diakses 8 November 2014, dari http://www.gkj.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=797
Umi
Sumbulah (Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan
kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama
dan Keadilan Gender: Kondisi Perempuan dalam Agama-Agama (Pdf)
0 komentar:
Posting Komentar