Selamat Datang

Selamat kepada Khoirul Umam (UIN Jakarta'11) terpilih sebagai ketua Lingkar Bidikmisi PTAIN se-Nusantara (LINGDIKSI).

Selamat dan Sukses Wisuda ke 95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selamat menyelesaikan tugas akhir skripsi untuk mahasiswa semester VII Fakultas Ushuluddin

.

.

Halaman

Rabu, 07 Januari 2015

RELASI GENDER PERSPEKTIF KATOLIK

Responding Paper :
RELASI GENDER PERSPEKTIF KATOLIK
Khoirul Umam (1111034000164)

Teks Ketidakadilan dan Keadilan Gender
Berikut adalah beberapa perikop dalam alkitab baik dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru yang tidak mendukung kesetaraan gender:
1.      Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.(Kejadian 2:22)
2.      Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandungakan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkananakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." (Kejadian 3:16)
3.      Puji-pujian untuk isteri yang cakap. (Amsal 31:10-31)
4.      Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidakmengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. KarenaAdam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukanAdam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuhke dalam dosa. (1 Timotius 2:12-14)
Berikut adalah beberapa perikop dalam alkitab baik dalam perjanjian lamamaupun perjanjian baru yang mendukung kesetaraan gender:
1.      Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurutgambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan- Nya mereka. (Kejadian 1:27)
2.      Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembirakarena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akanmenyebut aku berbahagia. (Lukas 1:46-48).
3.      Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antaraorang banyak dan berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telahmengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau." Tetapi Ia berkata: "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allahdan yang memeliharanya." (Lukas 11:27-28)
4.      Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau,seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orangYahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.). Jawab Yesus kepadanya:"Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkatakepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada- Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." (Yohanes 4:9-10).

Status dan Peran Perempuan dalam Perspektif Katolik
Pandangan gereja terhadap kesetaraan gender terwakili melalui dokumen Familiaris Consortio (FC) dan katekismus gereja katolik, diantaranya:
1.      Perempuan dinyatakan sederajat dengan laki-laki, seperti diwahyukandalam sejarah keselamatan sejak awal. (FC 22)
2.      Perempuan diakui mempunyai martabat manusia yang sama dengan laki-laki, maka mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat.(FC 23)
3.      Peranan isteri dalam keluarga harus diakui dan dihargai. (FC 24)
4.      Cinta suami-isteri bersifat subur, baik dalam arti biologis maupunspiritualitas. Artinya, membuahkan kekayaan moral, religiusitas, dan budi pekerti yang baik. (FC 28)
5.      Allah memberkati laki-laki dan perempuan dengan martabat yang samasebagai manusia. (Katekismus)
Laki-laki dan perempuan meskipun berbeda dalam brbagai hal, tetap merupakan pribadi-pribadi yang mempunyai nilai yang sama. Karena keduanya diciptakan berdasarkan “gambar” Tuhan. ajaran semacam ini, tampak pada naskh pasca-paulus dalam Perjanjian Baru, yang mensistematisir agama Kristen Patriarkhal. Dengan demikian, ajaran ini berlawanan dengan sistem ajaran Kristen kerakyatan awal.
Pada gerakan kristen akhir-akhir ini, terdapat banyak aktivis dan pemikir yang memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Grimke misalnya, menyatakan bahwa kelemahan wanita dalam hal intelektualitas dan kepemimpinan bukanlah hal yang alami, namun karena adanya penyimpangan-penyimpangan sosial. Sekali perempuan dibebeaskan dari ketidakadilan sosial, maka ia akan mendapatkan hak dan kesempatan yang sama.
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.
1.      Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.
2.      Aspek Teologi dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.
3.      Aspek Kitab Suci
Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga. Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki. Yesus menempatkan  perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4.      Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk perceraian.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.

Peran Teologi Feminis Kristen Dalam Gerakan Sosial Kontemporer
Dr. Paul Budi, SVD, seorang imam katolik, memulai langkah dalam tulisannya bertajuk “Perempuan Menggugat Ketidakadilan Gender dalam Konteks Tafsir Tradisi Katolik” dalam buku “Menerobos Batas Merobohkan Prasangka” dengan analisis singkat atas opus magnum, Dr. Kirchberger berjudul “Allah Menggugat”. Bahwasanya Allah menggugat dunia melalui para perempuan yang menggugat kondisi dominasi kaum laki-laki di luar dan di dalam Gereja.
Dalam Gereja, tidak dapat dimungkiri dan tidak perlu disembunyikan bahwa ketidakadilan gender merupakan bagian dari tradisi Katolik. Berikut ini ada beberapa contoh penafsiran katolik yang menempatkan perempuan pada posisi tersubordinasi;
1.      Ketidakadilan  terhadap perempuan dalam tafsir Kitab Suci.  Ada tafsiran sejumlah perikop Kitab Suci yang memperkuat perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan. Kisah penciptaan dan kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa yang ditempatkan pada bagian awal Kitab Kejadian (Kejadian: 2-3) telah digunakan secara luas sebagai alasan untuk membenarkan posisi subordinat dari kaum perempuan. Atau dalam 1Tes 2 di mana Paulus mengulangi alasan kenapa perempuan harus menderita, 1 kor 14 ketika Paulus menesehati para perempuan untuk berdiam diri dalam jemaat atau nasihat  agar para istri menempatkan diri di bawah posisi suami sebagai kepala keluarga (Ef 5).
Dalam tradisi katolik, Kitab Suci umumnya dibacakan dalam ibadat. Bacaan yang harus diambil dalam kebaktian resmi sudah ditetapkan secara universal bagi Gereja di seluruh dunia. Yang menetapkan bacaan-bacaan itu adalah kaum laki-laki. Selanjutnya, yang membaca dan menjelaskan Kitab Suci pada kesempatan ibadat kebanyakan kaum laki-laki. Sedangkan, sebagian besar dari umat yang mendengar bacaan kitab suci dan penjelasan atasnya adalah kaum perempuan. Atau contoh lain, bacaan tahun A selama pekan suci hanya menyebut 9 nama perempuan di samping 29 tokoh laki-laki yang disebutkan scara eksplisit. Pada hari minggu Palem, dalam kisah sengsara versi injil Mateus hanya disebutkan nama satu orang perempuan, sedangkan tokoh laki-laki berjumlah 6 orang.  Demikian pun pada hari minggu paskah dalam misa pagi hanya disebutkan seorang perempuan di samping 3 orang laki-laki.
2.      Ketidakadilan gender dalam ritual. Hal ini terpatri dalam Kanon 1024 “Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima tahbisan secara sah”. Itu berarti hanya laki-laki yang dapat memimpin perayaan ekaristi. Pandangan berkaitan dengan tahbisan yang hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki dipertegas lagi dalam Surat Apostolis Yohanes Paulus II bertajuk Mulieris Dignitatem pada tahun 1988 dan Surat Apostolis Yohanes paulus berjudulOrdinatio Sacerdotalis pada tahun 1994.
Pembatasan peran perempuan dalam ruang ritual tampaknya demikian mengakar dalam tradisi katolik, sehinggga untuk waktu yang sangat lama kita tidak mengenal misdinar perempuan. Walaupun sudah diijinkan secara resmi, namun sampai sekarang kita tetap tidak menemukan seorang misdinar perempuan dalam perayaan ekaristi di katedral Santo Petrus di Roma atau dalam kunjungan-kunjungan Paus.
3.      Ketidakadilan gender dalam struktur Gereja.  Walau pada level KWI telah dibentuk Jaringan Mitra Perempuan sebagai wadah yang mengkoordinasikan berbagai kiprah dan inisiatif Gereja Katolik Indonesia mengenai persoalan perempuan. Namun, hal tersebut belum terlihat begitu menyata dalam situasi Gereja lokal. Pada tingkat keuskupan kondisinya dapat dilihat pada komposisi staf Pusat Pastoral Keuskupan. Misalnya, dari 151 anggota puspas di keuskupan Maumere, hanya 36 orang permpuan dan selebihnya, 115 orang laki-laki.
Menjawabi ketidakadilan yang terjadi, Pater Paul Budi menganjurkan perlu diupayakan tafsir yang mendorong kesetaraan gender. Tradisi tafsir ini disebutnya sebagai tradisi transformatif. Transformasi itu dimulai dengan memberikan tafsiran alternatif yang lebih positif mengenai persoalan gender. Berikut ini ada beberapa suguhan mengenai tafsir alternatif yang lebih positif itu;
a.    Menafsir kisah awal manusia.
Dalam kisah penciptaan, kita tahu bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Bagi Paul Budi, mengatakan manusia adalah gambaran Allah mengandung dua konsekwensi. Pertama,manusia tidak dapat dipahami terlepas dari Allah. Hanya dalam relasi dengan Allah dia mendapat kepenuhannya. Allah saja yang berkuasa mutlak atas manusia. Tidak ada manusia dan kelompok manusia, termasuk kelompok gender tertentu, yang memiliki hak mutlak atas manusia. Manusia tidak dapat diperlakukan sebagai barang oleh siapun. Kedua, ungkapan di atas menunjukkan kesetaraan sekaligus kesatuan manusia laki-laki dan perempuan. Keduanya  adalah setara, sebab yang satu tidak lebih mulia atau lebih jahat daripada yang lain.
b.    Dokumen-dokumen Gereja Kontemporer
1.      Konstitusi Pastoral Tentang “Gereja dalam Dunia Dewasa Ini” (Gaudium et Spes/GS)
Berkenanaan dengan perempuan dikatakan: “walaupun kaum perempuan sudah aktif dalam berbagai bidang kehidupan, namun sejalan dengan itu mereka pun harus semakin berani mengambil peran sesuai dengan kekhasan mereka” (60).  Rumusan ini dapat digunakan untuk mendorong kaum perempuan dan siapa saja agar mengupayakan secara semakin berani kesetaraan gender, karena pengalaman sejarah yang sudah menstigma kaum perempuan sebagai kaum tertindas. Salah satu kekhasan kaum perempuan dalam sejarah adalah praktik penindasan terhadap mereka. Pengalaman ini seharusnya menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk berperan sebagai pejuang hak-hak asasi manusia.
2.      Keputusan FABC (The Federation of Asian Bishop’s Conferences)
Pada tahun 1993, konferensi uskup seasia yang tergabung dalam FABC mengangkat masalah perempuan sebagai satu agenda penting pada Gereja Katolik di Asia. Pertemuan itu mengeluarkan beberapa rekomendasi penting antara lain:
a.       Sebagai langkah awal memperjuangkan kesetaraan gender, setidaknya 30% perempuan harus duduk dalam semua organisasi dan Dewan Gereja.
b.      Pada tingkat keuskupan dibentuk komisi untuk menangani masalah ketidakadilan kepada perempuan dan anak, serta mengambil langkah-langkah secepatnya.
c.       Memberikan kompensasi yang adil bagi perempuan yang bekerja dalam lingkungan Gereja, termasuk para biarawan/wati.
d.      Teologi perempuan diperkenalkan kepada calon imam selama masa pendidikannya.
e.       Mendukung dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar teologi.
c.    Surat Gembala KWI Untuk Pemilihan Umum 2004
Atas kesadaran bahwa ada ketidakadilan dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Maka para uskup secara eksplisit mendorong orang-orang katolik untuk memberikan pilihan kepada calon legislatif perempuan yang bermutu. Sikap ini merupakan tindakan nyata untuk mengakui peran perempuan dalam mengambil keputusan politik.
d.   Strategi Agama Transformatif
Agama mempunyai potensi kritis mentransformasikan masyarakat dari suatu kebudayaan menuju satu kebudayaan baru yang lebih memberikan ruang untuk perwujudan diri kaum perempuan. Ada tiga hal penting yang dapat diupayakan dan diperhatiakan. Pertama, agama perlu memberikan inspirasi dan kekuatan bagi perempuan dan laki-laki untuk berjuang menuju kesetaraan gender. Kedua membuka ruang bagi keterlibatan kaum perempuan dalam struktur agama. Ketiga, usaha agama untuk mengubah pola relasi kekuasaan di dalam sebuah masyarakat dapat ditempuh melalui jalur pendidikan.
Diskriminasi gender terhadap perempuan aktual untuk diperkatakan. Artinya, realitas diskriminasi ini sering kita jumpai dalam keseharian hidup kita. Pater Paul coba mengangkat realitas diskriminasi kaum perempuan dalam konteks tafsir tradisi katolik dengan begitu menarik dan transformatif.

Kesimpulan
Alkitab perjanjian lama menghadirkan paradigma bahwa perempuan adalah makhluk kedua dan sumber dosa. Perempuan adalah makhluk yang diciptakan dari rusuk laki-laki sehingga ia semestinya tunduk pada laki-laki. Hawa adalah yang menyebabkan Adam memakan buah pengetahuan sehingga ia disebut-sebut sebagai sumber dosa. Akhirnya terjadi ketidaksetaraan gender dalam kehidupan umat Tuhan yang bertahan sebagai tradisi selama 1500 tahun sampai saat Yesus datang ke dunia.Dalam kitab perjanjian baru. Bunda Maria muncul sebagai sosok ibu yang sabar dan penuh kasih. Kehadiran Yesus seolah merombak pemahaman umat bahwa Yesus tidak menjauhi perempuan sundal.
Yesus bercakap dengan wanita Samaria, yang menurut tradisi Yahudi adalah tabu. Martabat perempuan diangkat dan dimuliakan oleh ajaran Yesus. Perjanjian baru atau ajaran Kristus kemudian menjadi titik tolak gerejaKatolik dalam menentukan pandangannnya terhadap kesetaraan gender. Sifat gereja yang apostolik berusaha meneruskan semangat kerasulan sebagaimana terjadi sejak 2000 tahun lalu. Tertuang dalam berbagai dokumen, gereja menerjemahkan ajaran Yesus untuk senantiasa memuliakan dan menjunjung kesetaraan harkat, martabat, hak, kewajiban, peran, serta fungsi pria dan wanita dalam kehidupan spiritual maupun sekular.

Daftar Rujukan
Arvind Sharma. Perempuan dalam Agama-Agama DuniaJakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA-McGill Project, 2002
Bertolomeus Bolong. Keadilan Gender Dalam Keluarga Dalam Gambaran Gereja Katolik,  diakses 8 November 2014, dari http://cfis.uii.ac.id/content/view/44/87/
Ellys Sudarwati, Artikel YLPHS: Kesetaraan Gender dalam al-Kitab, diakses 8 November 2014, dari http://www.gkj.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=797
Umi Sumbulah (Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender: Kondisi Perempuan dalam Agama-Agama (Pdf)

0 komentar:

Posting Komentar